Thursday, April 6, 2017

Masyarakat Maritim yang (Belum) Merdeka

Oleh : Alin Maulani


sumber : http://www.mongabay.co.id

Negara maritim adalah salah satu sebutan bagi Negara Indonesia dalam kancah dunia internasional. Garis pantai yang terbentang sepanjang 81.000 km dalam Negara dengan jumlah pulau 17.502 ini, membuat Indonesia menjadi Negara yang memiliki potensi sumber daya kelautan yang melimpah.
Potensi ekonomi sumber daya pada sektor perikanan diperkirakan mencapai US$ 82 miliar per tahun. Potensi tersebut meliputi: potensi perikanan tangkap sebesar US$ 15,1 miliar per tahun, potensi budidaya laut sebesar US$ 46,7 miliar per tahun, potensi peraian umum sebesar US$ 1,1 miliar per tahun, potensi budidaya tambak sebesar US$ 10 miliar per tahun, potensi budidaya air tawar sebesar US$ 5,2 miliar per tahun, dan potensi bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 miliar per tahun. Selain itu, potensi lainnya pun dapat dikelola, seperti sumber daya yang tidak terbaharukan, sehingga dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan Indonesia.
Demikian luasnya wilayah laut di Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup di sekitar wilayah laut memanfaatkan sumber kelautan sebagai tumpuan hidupnya. Kehidupan laut ini tidak akan jauh dari kehidupan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisirlah yang berhubungan langsung dengan udara laut dalam keseharian hidupnya. Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Karakteristik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, nelayan harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.


sumber : http://www.mongabay.co.id

Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir adalah lagu lama yang tak dapat dielakkan disepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia hingga bergulirnya era reformasi. Kesulitan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan karena mereka didera keterbatasan di bidang kualitas sumberdaya manusia, akses dan penguasaan teknologi, pasar dan modal. Kebijakan dan  implementasi program-program pembangunan untuk masyarakat di kawasan pesisir hingga saat ini masih belum optimal dalam memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Rendahnya taraf hidup tersebut dipengaruhi oleh keterasingan dan seringkali membawa masyarakat tidak dapat berkembang secara mandiri.
Tidak jarang nelayan harus menerima harga terendah ketika hasil tangkapan melimpah. Guna menghindari kerugian yang lebih besar tersebut sebagai akibat rendahnya harga jual, tidak jarang nelayan melakukan pengolahan terhadap hasil tangkapan dengan sederhana. Biasanya hasil tangkapan tersebut diolah secara tradisional dalam bentuk pengeringan, penggaraman (ikan asin) atau pengasapan. Walaupun demikian, hasil olahan tersebut belumlah cukup mampu menaikkan penerimaan nelayan.
Namun, tidak semua nelayan mampu mengolah hasil laut yang didapatkannya. Kebanyakan mereka menjual kepada pengumpul karena tidak memiliki pengetahuan tentang bagaimana pengolahan ikan dan memproduksi hasil laut yang berkualitas tinggi. Pada beberapa desa di Kabupaten Natuna misalnya, masyarakat di sana hanya memperoleh pendidikan hingga tingkat SD, jika ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP ataupun SMA mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh karena tidak adanya fasilitas pendidikan tersebut.
Nelayan-nelayan di wilayah perbatasan utara Indonesia, mereka lebih sering mendapat pinjaman usaha dan pasokan bahan pangan dari negara tetangga. Berbagai kebutuhan pokok serta pinjaman yang diberikan secara cepat didatangkan. Pinjaman-pinjaman perahu tangkap ikan juga dilakukan oleh berbagai pihak asing yang menyebabkan penghasilan nelayan di wilayah perbatasan bergantung dan terikat pada pihak lain. Selesai melaut, mereka harus memperlihatkan ikan serta berbagai hasil laut tangkapannya kepada pihak yang memiliki keterikatan dengan mereka. Hasil laut yang begitu bernilai harganya dan berkualitas baik dibeli dengan harga rendah, kemudian sisa hasil tangkapannya tersebut dibawa pulang dan dikonsumsi keluarganya ataupun dijual kepada pengumpul ikan dengan harga yang juga sama rendahnya. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya peningkatan kehidupan ekonomi para nelayan.
Keterbatasan sarana dan prasaran penunjang juga mengakibatkan meningkatnya biaya operasional yang harus ditanggung oleh nelayan. Misalnya keterbatasan pabrik es di sentra produksi perikanan yang berakibat harga es batangan harus dibayar nelayan menjadi tinggi, atau juga keterbatasan bahan bakar sehingga harga yang harus dibayar nelayan pun juga meningkat. Sebagai contoh misalnya, keterbatasan pasokan es balok di sentra-sentra produksi perikanan tangkap mengakibatkan melonjaknya harga komoditi penunjang ini sampai dua kali lipat dari harga normal. Hal ini tentunya berdampak terhadap biaya yang harus ditanggung nelayan, dan bukan tidak mungkin hal ini menjadi hambatan dalam peningkatan produksi ikan.
Keterbatasan tersebut juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendapatan yang dimiliki oleh sebagian besar kelompok nelayan yang disebabkan pula oleh akses produksi perikanan atau hasil tangkapan yang sedikit, kemudian dari aspek teknologi sebagian besar dari mereka masih menggunakan teknologi tradisional, seperti alat pancing, menggunakan dayung, pemasaran hanya terbatas di sekitar areal wilayah Kecamatan ataupun hanya mengandalkan pasar lokal. Kondisi cuaca yang disediakan diberbagai media dengan akses internet yang dibuat oleh berbagai lembaga ditujukan untuk membantu nelayan melaut dengan mempertimbangkan kondisi alam, namun akses teknologi yang tidak dimengerti oleh kebanyakan nelayan sehingga perkiraan cuaca untuk melaut pun hanya didapatkan dari pengalamannya melaut.
Bentuk negara Indonesia yang memiliki gugusan kepulauan membentang dari Sabang sampai Merauke berimbas pada kurangnya pemerataan kesejahteraan ekonomi pada masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, terutama pulau-pulau di lingkar terdepan negara Indonesia. Dalam sekali melaut, nelayan hanya dapat bergantung pada keadaan cuaca dan kondisi perairan. Deburan ombak yang menghantam dinding perahu kayu dan membuat perahu tergoyang di tengah lautan lepas menandakan matapencaharian seorang nelayan mempertaruhkan nyawanya, sedangkan hasil perolehan pendapatan untuk keluarganya tidak sebanding dengan nyawa yang dipertaruhkannya di tengah lautan. Itulah kehidupan para nelayan dan masyarakat pesisir di negara yang telah merdeka ini.

17 Agustus 1945 menjadi hari dimana seluruh rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan bangsa yang telah dijajah ratusan tahun lamanya. Namun hingga saat ini Indonesia masih terus menjadi negara terjajah yang penjajahanya kasat mata. Sebagai negara maritim, jiwa maritim bangsa Indonesia belum sepenuhnya tumbuh. Potensi Indonesia lama terkubur dan masih terpendam. Negara yang seharusnya kaya karena potensi lautnya ini, masih saja tertidur dan terbuai dengan kemajuan teknologi yang berkembang pesat, sedangkan banyak masyarakat yang membutuhkan pendampingan untuk dapat terus mempertahankan kehidupannya dan lepas dari belenggu penjajahan yang sesungguhnya. 


EmoticonEmoticon