ALANA
oleh: Banon Agung Wijaya
Butiran pasir pantai masih menempel di kulitnya―wanita
yang sangat menyukai riuh ombak―baginya suara ombak seakan membawa dirinya
melayang, entahlah. Kepakan sayap burung yang terlihat menari sambil baris
berbaris, lengkap dengan senja yang berhasil memanjakan mata. Sebut saja Alana,
wanita yang terlahir di tanah Indonesia ini menarik napas dalam-dalam sembari
melupakan hiruk pikuk negaranya kemudian mengeluarkannya kembali. Lega.
North Carolina rupanya baru saja mampu menghapus
memori-memori dalam otaknya, bahkan memori kebahagiaan yang baru saja ia raih.
Mudah sekali rangkaian suasana tadi membuatnya lupa akan kemenangan timnya
dalam kompetisi cheerleader
Internasional yang diadakan di Art Center Bali pekan lalu. Bahkan ia lupa bahwa
kedatangannya ke North Carolina bukan untuk bersenang-senang melainkan untuk
memotivasinya kembali agar tidak cepat puas atas segala raihannya.
Senja tiba.
Mentari selalu menyala namun tak selamanya ingin terlihat
menyala. Pupil matanya membesar menyaksikan semesta yang kehilangan warna.
Malam. Gelap. Ia tak menyukainya. Haruskah menyalahkah mentari atau bahkan
datangnya malam hari? Tak perlu keduanya, bulan dan bintang menyelamatkan
kesalahan-kesalahan dalam pikirannya. Matanya berkerlipan, bibirnya perlahan
mengembang hingga terbentuk senyuman. Pantai Wrightsville berhasil memberi
kesempurnaan untuk setengah hari miliknya.
"Hei, apa yang kau lamunkan? Sudah larut malam, mari
kita pulang!" ucap wanita yang tiba-tiba menepuk pundak Alana hingga
menghamburkan lamunannya, sekali lagi ia pun juga melupakan bahwa dirinya tak
sendirian disini. "Hei ayolah, kau mau sampai besok di sini? Oke aku
tinggal...," ucap wanita itu kembali, terlihat tak sabar sembari hendak
membalikkan badan.
Kali ini Alana benar-benar tersadar dari lamunannya.
"Audrey, tunggu dulu...," sahutnya sembari menahan tangan Audrey agar
berhenti melangkah. "Selera liburanmu rendah sekali ternyata... Emm,
maksudku, kau rela meninggalkan malam ini hanya dengan berhangat di dalam
penginapan? Atau sekedar menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi? Atau malah
kau sudah mengantuk dan ingin tidur?" jelasnya dengan gimik di wajahnya
yang bermaksud menarik temannya itu untuk kembali menikmati liburannya.
"Bukannya kau tak suka malam hari? Emm, maksudku
kegelapan pada malam hari...," celetuk Audrey.
Mendengar pernyataan sahabatnya, Alana hanya meringis.
Kemudian tanpa pikir panjang, ia meraih tangan Audrey tanpa ingin mendengar
sepatah katapun sembari berlari menariknya menuju suatu tempat yang diyakini
lebih menyenangkan. "Demi North Carolina!!!" serunya kemudian,
sumringah.
Seketika fokus beberapa mata lain yang juga sempat
terlupakan tertuju pada kedua orang tadi, hanya melongo kebingunan dengan apa
yang akan mereka lakukan. "Hei kalian berdua, mau kemana?" tanya
salah satu teman satu timnya yang hendak pulang ke penginapan.
Mendengar pertanyaan itu, Alana tak menghentikan
langkahnya. "Tinggal saja, kami akan baik-baik saja...," seru Alana
dengan entengnya, begitulah karakternya yang tak peduli dengan resiko. Baginya,
takut merupakan bagian akhir cerita. Ia tak mudah mengakhiri ceritanya sendiri.
Pergi tanpa arah seakan malam itu miliknya. Anehnya, ia
benar-benar telah melupakan ketakutannya akan gelap. Bagaimana dengan Audrey?
Seperti biasa, mengekor demi kebahagiaan sahabatnya. Lama kelamaan juga
terhanyut dalam suasana, pikirnya.
***
Malam masih panjang, tebaran bintang di langit petang tak
bosannya mengedipkan cahayanya. Indah sekali malam itu, namun tidak untuk
seorang pria yang sedang memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi―Jevin Wijaya.
Pria berpawakan tinggi, berkulit sawo matang yang sedang mengenakan sweater
navajo itu sedang larut dalam permasalahan yang menghampirinya.
Jevin sadar bahwa ia tidak sedang minum. Bahkan ia memang
tak suka dengan bau alkohol, membuatnya mual. Namun, kesadarannya tak
berbanding lurus dengan apa yang ia lakukan. Kalut. Ia berusaha menenangkan
pikirannya dengan menyetel radio pada mobilnya, fokusnya mulai dialihkan dengan
radio itu. Sesekali matanya melirik ke arah tombol-tombol pada radio itu.
Jemarinya terus menekan tombol untuk memindah channel, sepertinya
belum ada kriteria musik yang sesuai untuknya. Tiba-tiba ia kehilangan signal, hal
ini membuat seluruh amarahnya yang sudah tertahan daritadi menjadi tak
terkontrol. Ketika hendak menghempas keraskan satu tangannya ke radio itu
dengan kecewa, ia sempat teralihkan fokus ke depan untuk melihat alur jalan.
Tiba-tiba, sesuatu yang berada tepat di depan mobilnya telah mengejutkannya
hingga tak sempat banting setir.
ARRRGGGGHHHHHH!!!
BRRRAAAAAAAAAKKK!!!!!!!
Hampir menusuk gendang telinga, suara wanita yang sempat
berteriak di depan mobilnya kini seketika menghilang ketika menghantam keras
mobil Jevin. Terdiam seketika, terlihat tak menyangka. Permasalahan baru silih
berganti, seperti hari akhir pikirnya. Setelah sadar, dengan cekatan ia keluar
mobil dan mendekati sosok wanita yang terhempas cukup jauh dari mobilnya tadi.
Berharap tidak menjadi hal yang buruk, Jevin segera mencari tahu kondisinya. Ia
meraih tangan kanan wanita itu, kemudian sesekali meraba hingga menekannya.
Ternyata nadinya masih berdenyut, wanita itu hanya pingsan. Masih ada waktu
untuk menyelamatkan nyawanya. Jevin hendak membawa wanita itu ke dalam mobilnya
ketika ia mendapati seseorang menghampirinya.
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengannya? Dia Alana,
aku bersamanya tadi...," ucap wanita yang asing untuk Jevin itu. "Kau
menabraknya? Kau...," ucapnya kembali masih saja menduga-duga tak pasti, kekhawatiran
itu terdengar berisik dan tak menyelesaikan masalah ini bagi Jevin.
Masih terdiam, Jevin ragu untuk menjawab hingga ia
tersadar bahwa wanita yang disebut Alana tadi sedang dalam keadaan darurat,
membutuhkan pertolongan. "Sebaiknya aku jelaskan nanti, bantu aku mengikat
kakinya agar darahnya tak mengucur keluar...," ucap Jevin sembari
melepaskan sweater-nya untuk menghambat darah yang terus keluar
dari kaki Alana yang terluka. Kemudian mereka membawanya ke dalam mobil.
Jevin membawa Alana dan wanita asing tadi pulang ke
rumahnya yang tak jauh dari tempat itu. Ia belum saling bicara dengan wanita
yang mengaku bersama Alana sebelum kecelakaan itu terjadi. Mereka berdua masih
panik, keselamatan Alana terus menyelimuti otaknya. Hingga deru suara mensin
mobil Jevin berhenti perlahan pada suatu tempat.
"Dokter akan menuju kesini sekarang, bantu aku
membawanya ke dalam..."
Terlihat tak fokus. "Ke dalam mana?" tanya
kosongnya, sesuatu tengah mengalihkan perhatian wanita tadi, melongo mengamati
sekitar yang tak asing baginya.
"Ke dalam rumah, ayo cepat!"
Malam itu berakhir dengan tenang bagi Jevin karena dokter
telah mengatakan bahwa Alana baik-baik saja hanya mengalami patah tulang ringan
dan harus memulihkan kembali kakinya selama dua bulan. Ketenangan Jevin
berbanding terbalik dengan perasaan wanita tadi. Walaupun ia sudah memberi
kepercayaan kepada Jevin untuk bertanggung jawab, namun orang asing tetaplah
orang asing. Terkadang kepribadian seseorang hanyalah berupa topeng baginya.
Alhasil pertanyaan-pertanyaan dalam otak wanita itu menutup harinya sendiri.
***
Hangatnya mentari mulai menusuk kulit. Sayup-sayup
perlahan mata terbuka dengan berat. Setengah sadar, Alana meraskan rasa sakit
pada kakinya. Setelah benar-benar sadar, ia kebingungan akan beberapa hal.
Pertama, dimana dia berada dan yang kedua, ada apa dengan kakinya?
"Syukurlah kau telah sadar. Aku mengkhawatirkanmu
sepanjang malam tadi...," ucap pria asing yang mengejutkan Alana dengan
tiba-tiba berada di dekatnya. "Tak usah terkejut begitu, sebelumnya
perkenalkan namaku Jevin, aku akan menceritakan semuanya padamu tentang
kejadian semalam...," sambungnya kembali, menenangkan Alana.
Dengan jelas, Jevin menceritakan semuanya dari awal
mereka bertemu hingga bermalam di rumahnya. "Lantas, dimana Audrey
sekarang?" tanya Alana kemudian.
Belum sempat terjawab, "Al, syukurlah kau
sadar!" seru Audrey sambil memeluk sahabatnya itu.
Alana terkekeh. "Aku kuat, tidak mungkin aku mati
hanya dengan tertabrak begitu saja...," ucapnya menyombongkan diri.
Seolah tak menghiraukan kesombongan sahabatnya, Audrey
mengalihkan pembicaraan. "Al, kau tau sesuatu?" tanyanya ambigu.
"Tau apa?"
"Keluarlah dari rumah ini, pasti kau akan
terkejut."
"Bodoh. Bagaimana dengan kakiku?"
Audrey baru saja tersadar, ia melupakan kondisi Alana.
Meringis, kemudian menatap Jevin. Jevin tahu benar apa artinya. "Aku yang
membuatmu seperti ini, untuk sementara waktu aku yang menjadi kakimu...,"
ucap Jevin ketika ia hendak menggendong Alana untuk keluar rumah.
Mereka melangkah menuju pintu keluar, suara riuh yang tak
asing seperti kembali menyapanya. "Ya Tuhan, Jev... Jadi pemilik rumah di
pinggir pantai ini...,"
"Yap rumah ini milikku...," penggal Jevin.
Seketika hembusan angin laut meraba halus kulitnya hingga
menembus pori-pori, sensasi itu terasa kembali. Sampai kapan dirinya akan
menyukai pantai? Ia sempat bertanya-tanya dengan pikirannya sendiri. Sesekali
merespon sendiri, mungkin sampai laut membutuhkan rambu-rambu lalu lintas.
Membayangkan itu, Alana terkekeh dalam hati, ia merasa nyaman.
Nyaman?
Ia memutar balikkan pernyataannya. Pantai atau... Astaga,
ia sadar dirinya masih dalam gendongan Jevin, ia melupakan berat badannya. Alana
mendapati raut wajah Jevin yang sudah mulai keberatan beban atas dirinya.
Ia saling bertatapan, Jevin hanya menatapnya lurus, namun
Alana mengembangkan senyumnya. "Kau masih akan tetap menjadi kakiku? Aku
rasa kursi itu lebih kuat daripada dirimu...," ucapnya sembari meringis
geli.
"Ahh iya...," sahut Jevin, meraih kursi di
sampingnya sembari menahan bebannya, kemudian meletakannya. Kaku sekali
dirinya, bodoh.
Belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, tiba-tiba
Audrey menepuk pundaknya. "Sebaiknya kau tinggalkan kita sebentar, aku mau
berbicara sebentar dengan sahabatku ini...," suruh Audrey, ia ingin
membahas tentang resiko yang akan terjadi ke depan dengan sahabatnya. Dengan
gerakan yang masih kaku, Jevin masuk ke dalam rumah meninggalkan kedua wanita
itu.
Alana tak bosannya mengamati kekakuan Jevin, tak paham.
Kemudian ia menatap temannya dengan gimik wajah kebingungan. "Ada apa
dengan pria itu?" tanyanya sembari terkekeh.
"Entahlah, tapi aku tak ingin membahasnya sekarang.
aku hanya ingin menanyakan kepadamu sesuatu...," ucap Audrey.
"Apa?"
"Kakimu? Maksudku... Lusa kita harus pulang ke
Indonesia, bagaimana dengan kakimu?" tanya Audrey dengan wajah yang
terlihat serius. "Bagaimana pula dengan kompetisi cheerleader? Kau
yakin akan sembuh selama dua bulan saja? Aku tak yakin itu," tambahnya
kemudian.
Raut wajah Alana seketika berubah, terlihat panik.
"Astaga, bodoh...," ia mengutuk dirinya sendiri. "Aku lupa
tentang kompetisi itu, bagaimana ini?" tanyanya balik, kedua tangan
bergerak menutupi wajahnya sendiri, panik.
Alana belum memberi kesempatan Audrey untuk memberi
pendapat. "Oke, jalan satu-satunya aku harus tetap tinggal disini bersama
Jevin selama dua bulan, mau tak mau aku harus bisa sembuh... Kalau tidak, aku
akan memintanya bertanggung jawab atas semua ini!" ucapnya menutupi
kekesalannya.
"Maksudmu? Bagaimana dengan orang tuamu?"
"Tolong katakan pada mereka, ada latihan ekstra
selama dua bulan disini makanya aku tidak bisa balik lusa. Toh, tak mungkin
juga aku kembali ke rumah dengan keadaan seperti ini. Orang tuaku pasti akan
melarangku untuk ikut cheerleader lagi jika mengetahui kondisi
kakiku seperti ini...,"
***
Alur dari waktu mendorongnya ke dalam kisah tak terduga. Alana
mengawali harinya dalam sebuah kepercayaan yang tak sengaja. Ekspektasi bisa
saja mengubah alur realita. Ia mulai merasakan asingnya rumah ini semenjak
teman-temannya sudah bergegas untuk kembali ke Indonesia. Tubuhnya tergerak
untuk bergegas dari tempat tidurnya, kaki melangkah tanpa arah. Bola matanya
terpantul jelas suasana kamar barunya.
Baru?
Bukankah ia hanya menumpang saja? Entahlah, akhir-akhir
ini Alana sering menyalahkan pernyataan yang ada dalam pikirannya sendiri.
Menyalahkan pun bukan kata yang tepat, pembelaan dirinya selalu hadir seakan
realita sedang memujanya. Langkah kakinya seketika terhenti pada sebuah lemari
kecil di sudut kamarnya. Tanpa pikir panjang, tangannya meraih pintu lemari dan
menariknya. Terbuka. Ia menemukan rangkaian kata dalam sebuah pigura minimalis
berwarna hitam.
"Cerita
ini aku tulis untukmu, seseorang yang belum pernah kutemui, kukenal, bahkan
kusentuh. Aku berjanji jika suatu saat nanti kau adalah orang itu, pengisi satu
karakter dalam kisahku untuk semesta, aku akan mengajakmu pergi ke duniaku,
dunia tanpa logika, seperti khayalan bocah kecil dan omong kosong
senja..."
- Dylan
Aregall -
Terbaca oleh matanya, terolah dalam otaknya. Tulisan yang
membentuk rangkaian kata ini tak asing untuknya. Hal ini memaksanya untuk
membuka sedikit memorinya, tak lama ia teringat oleh sebuah novel yang sudah
lama selesai dibacanya―GODEWYNHAULT. Memorinya terbuka kembali hingga Alana
teringat tentang alur ceritanya.
Berceritakan tentang pertemuan sepasang kekasih dengan
latar belakang yang jauh berbeda dari masing-masing karakternya. Keduanya
bersatu hanya dengan satu kesamaan yaitu kepercayaan. Dalam cerita di novel itu
seakan memberi tahu kita bahwa kepercayaan dalam hubungan itu sangatlah
penting, rasa percaya itulah yang kemudian menghadirkan sebuah cinta tanpa
tekanan. Tekanan akan membuat waktu seakan terhenti, kita terkekang untuk
segalanya. Bolehkan disebutnya cinta? Omong kosong berupa kata cinta seringkali
mencuci otak manusia. Begitu pikirnya. Alana sangat menyukai alur ceritanya.
Jika boleh meminta kepada Tuhan, ia ingin sekali menjadi karakter dalam cerita
itu. Mustahil.
Sayangnya, nama ‘Dylan Aregall’ yang tercantum sebagai
penulis novel itu hanyalah nama pena, padahal ia ingin sekali bertemu dengan
penulis aslinya. Kini pikirannya mulai terlempar jauh kemana-mana. Bahkan ia
sempat lupa untuk terkejut mengapa Jevin menyimpan tulisan ini di rumahnya.
Setelah sadar, Alana terkekeh menduga bahwa pria itu menyukai novel yang
sama.
"Kau sudah bangun ternyata...," ucap Jevin yang
secara tiba-tiba sudah berada di pintu kamar Alana dan mendapatinya sedang
membawa pigura itu. "Apa yang ada di pikiranmu saat membaca tulisan itu, Al?"
tanyanya kemudian, terlihat tenang.
Alana sedikit tersentak, terkejut dengan kedatangan
Jevin. Ia mulai menenangkan pikirannya dengan senyuman. "Pertama, aku
berkhayal untuk bertemu penulis novel ini kemudian menciumnya. Kedua, aku
berpikir kau juga ingin melakukannya jika kau terlahir sebagai wanita dan aku
yakin kau pasti juga suka dengan alur cerita novel itu sama sepertiku. Bukankah
begitu, Jev?" jelas Alana, percaya diri terhadap pernyataannya.
Jevin mengerutkan dahinya, ia melihat wanita itu dengan
tatapan sinis. "Sangat percaya diri kau ternyata...," ucapnya sambil
memberikan tepuk tangan kecil sembari tertawa. "Kau tahu, tulisan itu
bukan milikku, temanku meninggalkannya di kamar ini saat sempat bermalam di
sini. Jadi aku tak tahu apa maksudmu dan novel-novel yang kau sebutkan
tadi...," jelasnya kemudian.
Alana terlihat malu, sedikit menundukkan kepala. "Oh
begitu." ucapnya singkat.
Hal itu membuat Jevin kembali tertawa geli. "Ingat,
kau boleh saya percaya diri karena hal itu penting untuk membangun karaktermu,
tapi jangan lupa untuk mendengarkan penjelasan orang lain kemudian mengolahnya
dengan logika itu lebih penting...," jelas Jevin. "Oke lupakan, hari
ini aku mau bekerja di toko buku yang berada di perbatasan kota. Mungkin aku
pulang sore nanti, sudah aku siapkan segala kebutuhanmu dan tongkat kruk ini
untuk alat bantu jalanmu. Kalau kau memerlukanku, simpan saja nomorku...,"
tambahnya kemudian sembari memberi tongkat kruk dan nomor ponselnya.
Alana hanya mengangguk, ia masih belum tahu apa yang akan
ia lakukan setelah Jevin meninggalkannya untuk bekerja nanti.
"Oh iya, aku juga melarangmu untuk memasuki ruangan
di bawah tangga. Itu ruangan privasiku, banyak dokumen penting di
dalamnya...," tambah Jevin kemudian sebelum meninggalkan rumahnya untuk
bekerja.
***
Semerbak wewangian yang dipakai Alana untuk menyelimuti
tubuhnya telah menusuk hidung. Segar sekali dirinya sekarang, cuaca berawan
kesukaannya melengkapi hari itu. Namun sayangnya ia masih tak tahu kegiatan apa
yang harus ia lakukan dalam kondisi kaki yang seperti itu. Sepi, merasakan kenyamanan
rumah itu berkurang. Rasa sepi itu memaksanya untuk berpikir bahwa ia
membutuhkan Jevin. Bukan apa-apa, Jevin lah satu-satunya orang yang bisa
diajaknya berbicara saat ini.
"Halo..."
"Jev,
pulanglah... Aku kesepian di sini...,"
"Oke..."
Alana tersentak, ia sebenarnya bercanda menyuruh Jevin
pulang. Hal itu membuatnya tak menyangka, semudah itukah Jevin meninggalkan
pekerjaannya? Ah, apa yang ia pikirkan? Bukankah dirinya memang sedang
membutuhkan Jevin. Masa bodoh. Jevin sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, Alana
berniat membuatkan secangkir kopi untuknya. Dengan susah payah tongkat kruk itu
membantunya untuk berjalan, hingga langkahnya terhenti oleh suatu
ingatan.
Ruangan di bawah tangga?
Alana mendapati ruangan itu di depannya sekarang. Ia teringat
atas larangan Jevin, namun rasa penasarannya terus membuat Alana keras kepala.
Toh, dirinya juga tak akan berulah di dalamnya, bahkan tak ada niatan untuk
menyentuh dokumen-dokumen penting milik Jevin. Ia hanya penasaran bagaimana
dalamnya, setelah itu pergi, pikirnya. Tuas pintu sudah ada pada genggamannya.
Terbuka. Matanya tak mendapati hal-hal yang membuatnya tertarik pada sudut
tempatnya berdiri. Hanya terlihat ketas kosong yang tertumpuk pada meja dan
kursi yang tertata rapi di sampingnya. Ia melihat ada ruangan lain tanpa pintu
di belakang meja itu. Kegelapan ruangan itulah yang mengurungkan niatnya untuk
memasukinya. Rasa penasarannya terbunuh.
Sebuah ruangan yang tak penting untuknya, ia berniat
untuk kembali menuju dapur. Saat hendak membalikkan badannya, Alana merasakan
kakinya telah menyandung sesuatu. Tatapannya refleks menuju arah bawah.
Buku Anatomi Manusia?
Rupanya Jevin menyukai hal yang sama dengannya. Alana
sangat menyukai bidang kedokteran atau yang berbau biologis, ia mempelajarinya
sejak kecil. Buku itu membuatnya berniat untuk membahas hal ini dengan Jevin
nanti. Sekarang tak ada lagi halangan kecil lain untuk membuatkan Jevin kopi.
Benar, tak lama setelah itu Jevin sampai di rumah.
"Kau..."
"Iya ini aku, kenapa?"
"Bagaimana pekerjaanmu?"
"Tenang, toko buku itu milikku, aku memiliki banyak
pegawai untuk mengurusnya..."
"Ohh... Kukira kau pegawai kasir."
Kedatangan Jevin disambut canda tawa keduanya. Mereka
baru saja kenal, tapi entahlah sesuatu membuatnya terasa akrab. Perasaan yang
sama kah? Terlalu cepat untuk menilainya. Jawaban terbaik adalah alur dan waktu
yang membuatnya semakin dekat.
Perlahan Alana telah puas akan tawanya. "Ngomong-ngomong, kau
sedang mempelajari anatomi manusia?" tanyanya kemudian. Jevin hanya
melongo mendengar pertanyaannya. "Jadi gini, jujur aku tadi masuk ke dalam
ruangan di bawah tangga itu, tapi..."
"Hah?!" seru Jevin
memenggal pernyataan Alana, ia terlihat sangat terkejut.
Mendengar seruan itu, Alana serontak menutup mulut Jevin
dengan tangannya. "Tenang, dude! Aku tak menyentuh apapun
disitu kecuali buku ini...," jelasnya menenangkan Jevin sembari
memperlihatkan buku temuannya tadi. "Aku melihat ada ruangan lagi, namun
cukup gelap dan aku benci kegelapan makanya aku tak berniat memasukinya. Aku
yakin ruangan itu tak lebih penting dari luarnya. Benarkah begitu?"
tambahnya kemudian.
Mendengar penjelasan wanita itu Jevin perlahan tenang.
"Syukurlah, kau benar… Tak ada apapun hanya dokumen-dokumen tentang toko
buku milikku...," ucapnya kemudian.
Alana mengerutkan dahinya. "Kau belum menjawab
pertanyaan utamaku, Jev... Apa kau sedang mempelajari anatomi manusia?"
tanyanya kembali.
"Bisa dikatakan aku menyukainya..."
Sama.
Kesamaan itu membuat perhatiannya beralih pada satu
fokus. Buku itu memberinya topik pembicaraan yang cukup panjang. Keduanya
saling mengerti dalam bidang itu. Kopi yang telah dibuatkan oleh Alana tadi
menemani mereka berdua dalam pembicaraan yang panjang. Saling berdebat dan
memberikan pendapat hingga memakan waktu. Namun, tiba-tiba Jevin teringat
sesuatu setelah Alana beberapa kali menyeduh kopinya.
Jevin menahan tangan Alana, menghentikan seduhan kopinya.
"Sebentar, ngomong-ngomong kau sudah sarapan?" tanyanya kemudian
"Belum...," jawab Alana singkat.
Tiba-tiba raut wajah Jevin terlihat kesal, ia mengerutkan
dahinya. "Bodoh, kenapa dengan entengnya minum kopi?" tanyanya
kembali sembari merebut cangkir kopi wanita itu.
"Enak...," ucap Alana masih singkat, terlihat
sengaja membuat Jevin kesal.
Benar, Jevin semakin kesal namun ia terlihat menutupi
kekesalan itu. "Kafein tak baik untuk kesehatan kalau dikonsumsi terus
menerus, apalagi belum sarapan, ih gila...," jelasnya kemudian.
"Katanya kau menyukai bidang biologi, mana buktinya?" tambahnya.
Semenjak hal itu terjadi, mereka seringkali berdebat
tentang kafein. Jevin terus melarang Alana untuk kecanduan kopi, namun Alana
tetaplah Alana. Masa bodoh. Hingga seringkali Alana merengek agar diizinkan
untuk meminum kopi kembali mengingat Jevin adalah seseorang yang perhitungan.
Begitulah keseharian mereka yang membuatnya semakin dekat dan mengerti satu
sama lain tiap hari demi hari.
***
Bulan pun silih berganti, waktu itu hampir tiba. Dua
bulan tinggal bersama Jevin menjadikan kisah tak terduga untuk mereka berdua. Alana
hampir lupa bahwa tujuan utamanya untuk tinggal bersama pria itu adalah untuk
pemulihannya. Dan benar, kakinya terasa semakin baik seiring bergantinya hari.
Itu artinya sebentar lagi ia sudah harus kembali ke Indonesia dan siap untuk
mengikuti kompetisinya. Alana sempat senang dengan hal itu, ia merindukan
segalanya yang ada di Indonesia. Namun, di satu sisi hatinya masih terganjal
sesuatu yang ia tak mau mengakui apakah itu. Lusa, mau tidak mau Alana sudah
harus pulang ke Indonesia, ia sudah berjanji dengan orang tuanya.
Hari ini membuatnya gelisah. Tak seperti biasanya Jevin
pergi meninggalkannya tanpa berpamitan. Ia semakin gelisah karena lusa adalah
waktu perpisahannya dengan Jevin. Jujur, Alana sudah merasakan kenyamanan bersama
pria itu, ia butuh waktu untuk bersamanya kembali sebelum keduanya saling
mengucapkan salam perpisahan. Jevin benar-benar menghilang hari ini, Alana
mencoba untuk menghubunginya pun selalu tak ada respon. Hingga akhirnya, ia tak
sengaja mendengar berita di televisi yang membuat tubuhnya dingin dan kaku.
"SEORANG PRIA DIDUGA PSIKOPAT TELAH
DIAMANKAN PIHAK KEPOLISIAN, PEMUDA INI MEMILIKI NAMA SAMARAN YAITU JEVIN
WIJAYA......."
Alana belum percaya hal ini, ia yakin Jevin bukanlah pria
seperti itu. Serontak ia bergegas menuju kamar Jevin. Terlihat sekali
berantakan. Letak kamar Jevin dan Alana cukup jauh, maka dari itu ia tak tahu
apa yang terjadi tadi malam. Perlahan, mau tak mau Alana harus mempercayai
berita itu. Hingga ia memiliki firasat untuk memasuki ruangan privasi milik
Jevin yang berada di bawah tangga. Lagi-lagi ia dikejutkan oleh sesuatu yang
tertempel pada pintu ruangan itu.
---
Untuk,
ALANA.
Aku tahu pasti kau
telah mengetahui semuanya...
Maafkan aku yang tak
jujur selama ini,
Semuanya sudah
terlanjur dan aku memiliki alasan atas semua perbuatanku,
Aku hanya ingin
menjadi karakter baik dalam kisahmu,
Mungkin kau sudah
memandangku sebelah mata sekarang,
Namun jika kau
percaya padaku, kau akan paham siapa pelaku dari semua ini...
Kau ingat, saat aku
menabrakmu dengan mobilku?
Sebelum kejadian
itulah awal ceritanya...
Psikopat yang
sebenarnya adalah kekasihku,
Buku anatomi manusia
itu milik kekasihku,
Aku tak sengaja
membunuhnya malam itu.
Malam itu kekacauan
terjadi saat acara makan malam keluargaku dan keluarganya,
Pada akhir acara, aku
pergi ke kamar mandi dan saat aku kembali...
Darah sudah
bercucuran dimana-mana,
Gangguan jiwanya
membuat jiwa psikopat nya hidup saat itu,
Ia membunuh semuanya...
Terakhir, aku melihat
ia mengarahkan pistol ke kepalaku.
Gerakannya lambat,
sehingga aku berhasil memutar arah pistol itu,
Namun...
Tak ada yang
menyangka, peluru itu keluar,
Meledak tepat di
kepalanya.
Dan tanpa sisa,
kecuali aku...
Semenjak itulah aku
menjadi buronan polisi,
Masih banyak hal yang
ingin kau katakan padamu lewat surat ini,
Pertama...
Aku ingin jujur
padamu tentang hal tadi.
Kedua...
Aku ingin jujur
padamu bahwa aku mencintaimu, aku nyaman denganmu selama ini,
Itulah sebabnya aku
tak ingin membawamu dalam permasalahan ini.
Dan yang terakhir...
Kau ingat nama
penulis novel 'Godewynhault'?
Bukalah pintu ini dan
kau akan mengetahui segalanya...
Dari,
Pria yang sempat kau
sebut JEVIN WIJAYA
---
Tanpa pikir panjang, Alana segera membuka pintu ruangan
itu. Ia terkejut dengan nyala lampu pada ruangan yang saat itu terlihat gelap.
Ia melangkah untuk memasukinya. Benar... Semua isi dalam surat itu tak
mengada-ada. Ia mendapati beberapa script novel Godewynhault
dalam bentuk tulisan tangan Jevin tertata rapi di meja dalam ruangan itu.
Selain itu, ia juga mendapati foto-foto kekasih Jevin yang sedang sibuk membaca
buku anatomi manusia.
Dan yang terakhir, ini membuatnya semakin dingin hingga
tak mampu lagi berkata-kata. Sketsa wajah Alana terpampang jelas pada kanvas di
sudut ruangan. Tertulis di bawahnya, "Impian sederhanaku yaitu suatu saat
nanti, aku yakin tak ada lagi kata 'selamat tinggal', melainkan kata 'selamat
malam' di bawah atap yang sama..." ―Dylan Aregall.
***
Bulan demi bulan silih berganti, sepertinya sudah tak
berlanjut lagi kisah antara Jevin dan Alana. Jevin yakin Alana sudah
meninggalkannya untuk kembali ke Indonesia. Hingga suatu ketika polisi
memanggilnya, seseorang ingin bertemu dengannya. Siapa yang menyangka...
"Al......"
"Aku menyebutnya luka, ia akan sembuh bergantung dengan waktu tanpa
melihat masa lalu. Ia tak akan kembali apabila kau menjaganya. Terima kasih,
secara tak langsung kau memberitahuku arti kepercayaan. Aku percaya padamu dan
sebaiknya kau percaya padaku bahwa aku juga mencintaimu. Aku tak takut untuk
menunggumu karena aku yakin kisah tak terduga ini akan berakhir bahagia. Impian
sederhanaku masih sama, aku yakin
tak ada lagi kata 'selamat tinggal', melainkan kata 'selamat malam' di bawah
atap yang sama…”