Saturday, December 16, 2017

[CERPEN] Alana - oleh : Banon A W ( Juara 1 Lomba Menulis Cerpen FPIK dengan tema "Mimpi"

ALANA
oleh: Banon Agung Wijaya 




Butiran pasir pantai masih menempel di kulitnya―wanita yang sangat menyukai riuh ombak―baginya suara ombak seakan membawa dirinya melayang, entahlah. Kepakan sayap burung yang terlihat menari sambil baris berbaris, lengkap dengan senja yang berhasil memanjakan mata. Sebut saja Alana, wanita yang terlahir di tanah Indonesia ini menarik napas dalam-dalam sembari melupakan hiruk pikuk negaranya kemudian mengeluarkannya kembali. Lega. 

North Carolina rupanya baru saja mampu menghapus memori-memori dalam otaknya, bahkan memori kebahagiaan yang baru saja ia raih. Mudah sekali rangkaian suasana tadi membuatnya lupa akan kemenangan timnya dalam kompetisi cheerleader Internasional yang diadakan di Art Center Bali pekan lalu. Bahkan ia lupa bahwa kedatangannya ke North Carolina bukan untuk bersenang-senang melainkan untuk memotivasinya kembali agar tidak cepat puas atas segala raihannya.

Senja tiba.

Mentari selalu menyala namun tak selamanya ingin terlihat menyala. Pupil matanya membesar menyaksikan semesta yang kehilangan warna. Malam. Gelap. Ia tak menyukainya. Haruskah menyalahkah mentari atau bahkan datangnya malam hari? Tak perlu keduanya, bulan dan bintang menyelamatkan kesalahan-kesalahan dalam pikirannya. Matanya berkerlipan, bibirnya perlahan mengembang hingga terbentuk senyuman. Pantai Wrightsville berhasil memberi kesempurnaan untuk setengah hari miliknya.

"Hei, apa yang kau lamunkan? Sudah larut malam, mari kita pulang!" ucap wanita yang tiba-tiba menepuk pundak Alana hingga menghamburkan lamunannya, sekali lagi ia pun juga melupakan bahwa dirinya tak sendirian disini. "Hei ayolah, kau mau sampai besok di sini? Oke aku tinggal...," ucap wanita itu kembali, terlihat tak sabar sembari hendak membalikkan badan.

Kali ini Alana benar-benar tersadar dari lamunannya. "Audrey, tunggu dulu...," sahutnya sembari menahan tangan Audrey agar berhenti melangkah. "Selera liburanmu rendah sekali ternyata... Emm, maksudku, kau rela meninggalkan malam ini hanya dengan berhangat di dalam penginapan? Atau sekedar menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi? Atau malah kau sudah mengantuk dan ingin tidur?" jelasnya dengan gimik di wajahnya yang bermaksud menarik temannya itu untuk kembali menikmati liburannya.

"Bukannya kau tak suka malam hari? Emm, maksudku kegelapan pada malam hari...," celetuk Audrey.

Mendengar pernyataan sahabatnya, Alana hanya meringis. Kemudian tanpa pikir panjang, ia meraih tangan Audrey tanpa ingin mendengar sepatah katapun sembari berlari menariknya menuju suatu tempat yang diyakini lebih menyenangkan. "Demi North Carolina!!!" serunya kemudian, sumringah.

Seketika fokus beberapa mata lain yang juga sempat terlupakan tertuju pada kedua orang tadi, hanya melongo kebingunan dengan apa yang akan mereka lakukan. "Hei kalian berdua, mau kemana?" tanya salah satu teman satu timnya yang hendak pulang ke penginapan.

Mendengar pertanyaan itu, Alana tak menghentikan langkahnya. "Tinggal saja, kami akan baik-baik saja...," seru Alana dengan entengnya, begitulah karakternya yang tak peduli dengan resiko. Baginya, takut merupakan bagian akhir cerita. Ia tak mudah mengakhiri ceritanya sendiri.

Pergi tanpa arah seakan malam itu miliknya. Anehnya, ia benar-benar telah melupakan ketakutannya akan gelap. Bagaimana dengan Audrey? Seperti biasa, mengekor demi kebahagiaan sahabatnya. Lama kelamaan juga terhanyut dalam suasana, pikirnya.


***

Malam masih panjang, tebaran bintang di langit petang tak bosannya mengedipkan cahayanya. Indah sekali malam itu, namun tidak untuk seorang pria yang sedang memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi―Jevin Wijaya. Pria berpawakan tinggi, berkulit sawo matang yang sedang mengenakan sweater navajo itu sedang larut dalam permasalahan yang menghampirinya.

Jevin sadar bahwa ia tidak sedang minum. Bahkan ia memang tak suka dengan bau alkohol, membuatnya mual. Namun, kesadarannya tak berbanding lurus dengan apa yang ia lakukan. Kalut. Ia berusaha menenangkan pikirannya dengan menyetel radio pada mobilnya, fokusnya mulai dialihkan dengan radio itu. Sesekali matanya melirik ke arah tombol-tombol pada radio itu. Jemarinya terus menekan tombol untuk memindah channel, sepertinya belum ada kriteria musik yang sesuai untuknya. Tiba-tiba ia kehilangan signal, hal ini membuat seluruh amarahnya yang sudah tertahan daritadi menjadi tak terkontrol. Ketika hendak menghempas keraskan satu tangannya ke radio itu dengan kecewa, ia sempat teralihkan fokus ke depan untuk melihat alur jalan. Tiba-tiba, sesuatu yang berada tepat di depan mobilnya telah mengejutkannya hingga tak sempat banting setir.

ARRRGGGGHHHHHH!!!

BRRRAAAAAAAAAKKK!!!!!!!

Hampir menusuk gendang telinga, suara wanita yang sempat berteriak di depan mobilnya kini seketika menghilang ketika menghantam keras mobil Jevin. Terdiam seketika, terlihat tak menyangka. Permasalahan baru silih berganti, seperti hari akhir pikirnya. Setelah sadar, dengan cekatan ia keluar mobil dan mendekati sosok wanita yang terhempas cukup jauh dari mobilnya tadi. Berharap tidak menjadi hal yang buruk, Jevin segera mencari tahu kondisinya. Ia meraih tangan kanan wanita itu, kemudian sesekali meraba hingga menekannya. Ternyata nadinya masih berdenyut, wanita itu hanya pingsan. Masih ada waktu untuk menyelamatkan nyawanya. Jevin hendak membawa wanita itu ke dalam mobilnya ketika ia mendapati seseorang menghampirinya.

"Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengannya? Dia Alana, aku bersamanya tadi...," ucap wanita yang asing untuk Jevin itu. "Kau menabraknya? Kau...," ucapnya kembali masih saja menduga-duga tak pasti, kekhawatiran itu terdengar berisik dan tak menyelesaikan masalah ini bagi Jevin.

Masih terdiam, Jevin ragu untuk menjawab hingga ia tersadar bahwa wanita yang disebut Alana tadi sedang dalam keadaan darurat, membutuhkan pertolongan. "Sebaiknya aku jelaskan nanti, bantu aku mengikat kakinya agar darahnya tak mengucur keluar...," ucap Jevin sembari melepaskan sweater-nya untuk menghambat darah yang terus keluar dari kaki Alana yang terluka. Kemudian mereka membawanya ke dalam mobil.

Jevin membawa Alana dan wanita asing tadi pulang ke rumahnya yang tak jauh dari tempat itu. Ia belum saling bicara dengan wanita yang mengaku bersama Alana sebelum kecelakaan itu terjadi. Mereka berdua masih panik, keselamatan Alana terus menyelimuti otaknya. Hingga deru suara mensin mobil Jevin berhenti perlahan pada suatu tempat.

"Dokter akan menuju kesini sekarang, bantu aku membawanya ke dalam..."

Terlihat tak fokus. "Ke dalam mana?" tanya kosongnya, sesuatu tengah mengalihkan perhatian wanita tadi, melongo mengamati sekitar yang tak asing baginya. 

"Ke dalam rumah, ayo cepat!"

Malam itu berakhir dengan tenang bagi Jevin karena dokter telah mengatakan bahwa Alana baik-baik saja hanya mengalami patah tulang ringan dan harus memulihkan kembali kakinya selama dua bulan. Ketenangan Jevin berbanding terbalik dengan perasaan wanita tadi. Walaupun ia sudah memberi kepercayaan kepada Jevin untuk bertanggung jawab, namun orang asing tetaplah orang asing. Terkadang kepribadian seseorang hanyalah berupa topeng baginya. Alhasil pertanyaan-pertanyaan dalam otak wanita itu menutup harinya sendiri.


***




Hangatnya mentari mulai menusuk kulit. Sayup-sayup perlahan mata terbuka dengan berat. Setengah sadar, Alana meraskan rasa sakit pada kakinya. Setelah benar-benar sadar, ia kebingungan akan beberapa hal. Pertama, dimana dia berada dan yang kedua, ada apa dengan kakinya?

"Syukurlah kau telah sadar. Aku mengkhawatirkanmu sepanjang malam tadi...," ucap pria asing yang mengejutkan Alana dengan tiba-tiba berada di dekatnya. "Tak usah terkejut begitu, sebelumnya perkenalkan namaku Jevin, aku akan menceritakan semuanya padamu tentang kejadian semalam...," sambungnya kembali, menenangkan Alana.

Dengan jelas, Jevin menceritakan semuanya dari awal mereka bertemu hingga bermalam di rumahnya. "Lantas, dimana Audrey sekarang?" tanya Alana kemudian.
           
Belum sempat terjawab, "Al, syukurlah kau sadar!" seru Audrey sambil memeluk sahabatnya itu.

Alana terkekeh. "Aku kuat, tidak mungkin aku mati hanya dengan tertabrak begitu saja...," ucapnya menyombongkan diri.

Seolah tak menghiraukan kesombongan sahabatnya, Audrey mengalihkan pembicaraan. "Al, kau tau sesuatu?" tanyanya ambigu.

"Tau apa?"

"Keluarlah dari rumah ini, pasti kau akan terkejut."

"Bodoh. Bagaimana dengan kakiku?"

Audrey baru saja tersadar, ia melupakan kondisi Alana. Meringis, kemudian menatap Jevin. Jevin tahu benar apa artinya. "Aku yang membuatmu seperti ini, untuk sementara waktu aku yang menjadi kakimu...," ucap Jevin ketika ia hendak menggendong Alana untuk keluar rumah.

Mereka melangkah menuju pintu keluar, suara riuh yang tak asing seperti kembali menyapanya. "Ya Tuhan, Jev... Jadi pemilik rumah di pinggir pantai ini...," 

"Yap rumah ini milikku...," penggal Jevin.

Seketika hembusan angin laut meraba halus kulitnya hingga menembus pori-pori, sensasi itu terasa kembali. Sampai kapan dirinya akan menyukai pantai? Ia sempat bertanya-tanya dengan pikirannya sendiri. Sesekali merespon sendiri, mungkin sampai laut membutuhkan rambu-rambu lalu lintas. Membayangkan itu, Alana terkekeh dalam hati, ia merasa nyaman.

Nyaman?

Ia memutar balikkan pernyataannya. Pantai atau... Astaga, ia sadar dirinya masih dalam gendongan Jevin, ia melupakan berat badannya. Alana mendapati raut wajah Jevin yang sudah mulai keberatan beban atas dirinya.

Ia saling bertatapan, Jevin hanya menatapnya lurus, namun Alana mengembangkan senyumnya. "Kau masih akan tetap menjadi kakiku? Aku rasa kursi itu lebih kuat daripada dirimu...," ucapnya sembari meringis geli.

"Ahh iya...," sahut Jevin, meraih kursi di sampingnya sembari menahan bebannya, kemudian meletakannya. Kaku sekali dirinya, bodoh. 

Belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, tiba-tiba Audrey menepuk pundaknya. "Sebaiknya kau tinggalkan kita sebentar, aku mau berbicara sebentar dengan sahabatku ini...," suruh Audrey, ia ingin membahas tentang resiko yang akan terjadi ke depan dengan sahabatnya. Dengan gerakan yang masih kaku, Jevin masuk ke dalam rumah meninggalkan kedua wanita itu.

Alana tak bosannya mengamati kekakuan Jevin, tak paham. Kemudian ia menatap temannya dengan gimik wajah kebingungan. "Ada apa dengan pria itu?" tanyanya sembari terkekeh.

"Entahlah, tapi aku tak ingin membahasnya sekarang. aku hanya ingin menanyakan kepadamu sesuatu...," ucap Audrey.

"Apa?"

"Kakimu? Maksudku... Lusa kita harus pulang ke Indonesia, bagaimana dengan kakimu?" tanya Audrey dengan wajah yang terlihat serius. "Bagaimana pula dengan kompetisi cheerleader? Kau yakin akan sembuh selama dua bulan saja? Aku tak yakin itu," tambahnya kemudian.

Raut wajah Alana seketika berubah, terlihat panik. "Astaga, bodoh...," ia mengutuk dirinya sendiri. "Aku lupa tentang kompetisi itu, bagaimana ini?" tanyanya balik, kedua tangan bergerak menutupi wajahnya sendiri, panik.

Alana belum memberi kesempatan Audrey untuk memberi pendapat. "Oke, jalan satu-satunya aku harus tetap tinggal disini bersama Jevin selama dua bulan, mau tak mau aku harus bisa sembuh... Kalau tidak, aku akan memintanya bertanggung jawab atas semua ini!" ucapnya menutupi kekesalannya.

"Maksudmu? Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Tolong katakan pada mereka, ada latihan ekstra selama dua bulan disini makanya aku tidak bisa balik lusa. Toh, tak mungkin juga aku kembali ke rumah dengan keadaan seperti ini. Orang tuaku pasti akan melarangku untuk ikut cheerleader lagi jika mengetahui kondisi kakiku seperti ini...,"


***

Alur dari waktu mendorongnya ke dalam kisah tak terduga. Alana mengawali harinya dalam sebuah kepercayaan yang tak sengaja. Ekspektasi bisa saja mengubah alur realita. Ia mulai merasakan asingnya rumah ini semenjak teman-temannya sudah bergegas untuk kembali ke Indonesia. Tubuhnya tergerak untuk bergegas dari tempat tidurnya, kaki melangkah tanpa arah. Bola matanya terpantul jelas suasana kamar barunya.

Baru?

Bukankah ia hanya menumpang saja? Entahlah, akhir-akhir ini Alana sering menyalahkan pernyataan yang ada dalam pikirannya sendiri. Menyalahkan pun bukan kata yang tepat, pembelaan dirinya selalu hadir seakan realita sedang memujanya. Langkah kakinya seketika terhenti pada sebuah lemari kecil di sudut kamarnya. Tanpa pikir panjang, tangannya meraih pintu lemari dan menariknya. Terbuka. Ia menemukan rangkaian kata dalam sebuah pigura minimalis berwarna hitam.


"Cerita ini aku tulis untukmu, seseorang yang belum pernah kutemui, kukenal, bahkan kusentuh. Aku berjanji jika suatu saat nanti kau adalah orang itu, pengisi satu karakter dalam kisahku untuk semesta, aku akan mengajakmu pergi ke duniaku, dunia tanpa logika, seperti khayalan bocah kecil dan omong kosong senja..."

- Dylan Aregall -


Terbaca oleh matanya, terolah dalam otaknya. Tulisan yang membentuk rangkaian kata ini tak asing untuknya. Hal ini memaksanya untuk membuka sedikit memorinya, tak lama ia teringat oleh sebuah novel yang sudah lama selesai dibacanya―GODEWYNHAULT. Memorinya terbuka kembali hingga Alana teringat tentang alur ceritanya. 

Berceritakan tentang pertemuan sepasang kekasih dengan latar belakang yang jauh berbeda dari masing-masing karakternya. Keduanya bersatu hanya dengan satu kesamaan yaitu kepercayaan. Dalam cerita di novel itu seakan memberi tahu kita bahwa kepercayaan dalam hubungan itu sangatlah penting, rasa percaya itulah yang kemudian menghadirkan sebuah cinta tanpa tekanan. Tekanan akan membuat waktu seakan terhenti, kita terkekang untuk segalanya. Bolehkan disebutnya cinta? Omong kosong berupa kata cinta seringkali mencuci otak manusia. Begitu pikirnya. Alana sangat menyukai alur ceritanya. Jika boleh meminta kepada Tuhan, ia ingin sekali menjadi karakter dalam cerita itu. Mustahil.

Sayangnya, nama ‘Dylan Aregall’ yang tercantum sebagai penulis novel itu hanyalah nama pena, padahal ia ingin sekali bertemu dengan penulis aslinya. Kini pikirannya mulai terlempar jauh kemana-mana. Bahkan ia sempat lupa untuk terkejut mengapa Jevin menyimpan tulisan ini di rumahnya. Setelah sadar, Alana terkekeh menduga bahwa pria itu menyukai novel yang sama. 

"Kau sudah bangun ternyata...," ucap Jevin yang secara tiba-tiba sudah berada di pintu kamar Alana dan mendapatinya sedang membawa pigura itu. "Apa yang ada di pikiranmu saat membaca tulisan itu, Al?" tanyanya kemudian, terlihat tenang.

Alana sedikit tersentak, terkejut dengan kedatangan Jevin. Ia mulai menenangkan pikirannya dengan senyuman. "Pertama, aku berkhayal untuk bertemu penulis novel ini kemudian menciumnya. Kedua, aku berpikir kau juga ingin melakukannya jika kau terlahir sebagai wanita dan aku yakin kau pasti juga suka dengan alur cerita novel itu sama sepertiku. Bukankah begitu, Jev?" jelas Alana, percaya diri terhadap pernyataannya.

Jevin mengerutkan dahinya, ia melihat wanita itu dengan tatapan sinis. "Sangat percaya diri kau ternyata...," ucapnya sambil memberikan tepuk tangan kecil sembari tertawa. "Kau tahu, tulisan itu bukan milikku, temanku meninggalkannya di kamar ini saat sempat bermalam di sini. Jadi aku tak tahu apa maksudmu dan novel-novel yang kau sebutkan tadi...," jelasnya kemudian.

Alana terlihat malu, sedikit menundukkan kepala. "Oh begitu." ucapnya singkat.

Hal itu membuat Jevin kembali tertawa geli. "Ingat, kau boleh saya percaya diri karena hal itu penting untuk membangun karaktermu, tapi jangan lupa untuk mendengarkan penjelasan orang lain kemudian mengolahnya dengan logika itu lebih penting...," jelas Jevin. "Oke lupakan, hari ini aku mau bekerja di toko buku yang berada di perbatasan kota. Mungkin aku pulang sore nanti, sudah aku siapkan segala kebutuhanmu dan tongkat kruk ini untuk alat bantu jalanmu. Kalau kau memerlukanku, simpan saja nomorku...," tambahnya kemudian sembari memberi tongkat kruk dan nomor ponselnya.

Alana hanya mengangguk, ia masih belum tahu apa yang akan ia lakukan setelah Jevin meninggalkannya untuk bekerja nanti.

"Oh iya, aku juga melarangmu untuk memasuki ruangan di bawah tangga. Itu ruangan privasiku, banyak dokumen penting di dalamnya...," tambah Jevin kemudian sebelum meninggalkan rumahnya untuk bekerja.


***

Semerbak wewangian yang dipakai Alana untuk menyelimuti tubuhnya telah menusuk hidung. Segar sekali dirinya sekarang, cuaca berawan kesukaannya melengkapi hari itu. Namun sayangnya ia masih tak tahu kegiatan apa yang harus ia lakukan dalam kondisi kaki yang seperti itu. Sepi, merasakan kenyamanan rumah itu berkurang. Rasa sepi itu memaksanya untuk berpikir bahwa ia membutuhkan Jevin. Bukan apa-apa, Jevin lah satu-satunya orang yang bisa diajaknya berbicara saat ini.

"Halo..."

"Jev, pulanglah... Aku kesepian di sini...,"

"Oke..."

Alana tersentak, ia sebenarnya bercanda menyuruh Jevin pulang. Hal itu membuatnya tak menyangka, semudah itukah Jevin meninggalkan pekerjaannya? Ah, apa yang ia pikirkan? Bukankah dirinya memang sedang membutuhkan Jevin. Masa bodoh. Jevin sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, Alana berniat membuatkan secangkir kopi untuknya. Dengan susah payah tongkat kruk itu membantunya untuk berjalan, hingga langkahnya terhenti oleh suatu ingatan. 

Ruangan di bawah tangga?

Alana mendapati ruangan itu di depannya sekarang. Ia teringat atas larangan Jevin, namun rasa penasarannya terus membuat Alana keras kepala. Toh, dirinya juga tak akan berulah di dalamnya, bahkan tak ada niatan untuk menyentuh dokumen-dokumen penting milik Jevin. Ia hanya penasaran bagaimana dalamnya, setelah itu pergi, pikirnya. Tuas pintu sudah ada pada genggamannya. Terbuka. Matanya tak mendapati hal-hal yang membuatnya tertarik pada sudut tempatnya berdiri. Hanya terlihat ketas kosong yang tertumpuk pada meja dan kursi yang tertata rapi di sampingnya. Ia melihat ada ruangan lain tanpa pintu di belakang meja itu. Kegelapan ruangan itulah yang mengurungkan niatnya untuk memasukinya. Rasa penasarannya terbunuh.

Sebuah ruangan yang tak penting untuknya, ia berniat untuk kembali menuju dapur. Saat hendak membalikkan badannya, Alana merasakan kakinya telah menyandung sesuatu. Tatapannya refleks menuju arah bawah.

Buku Anatomi Manusia?

Rupanya Jevin menyukai hal yang sama dengannya. Alana sangat menyukai bidang kedokteran atau yang berbau biologis, ia mempelajarinya sejak kecil. Buku itu membuatnya berniat untuk membahas hal ini dengan Jevin nanti. Sekarang tak ada lagi halangan kecil lain untuk membuatkan Jevin kopi. Benar, tak lama setelah itu Jevin sampai di rumah.

"Kau..."

"Iya ini aku, kenapa?"

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Tenang, toko buku itu milikku, aku memiliki banyak pegawai untuk mengurusnya..."

"Ohh... Kukira kau pegawai kasir."

Kedatangan Jevin disambut canda tawa keduanya. Mereka baru saja kenal, tapi entahlah sesuatu membuatnya terasa akrab. Perasaan yang sama kah? Terlalu cepat untuk menilainya. Jawaban terbaik adalah alur dan waktu yang membuatnya semakin dekat.

Perlahan Alana telah puas akan tawanya. "Ngomong-ngomongkau sedang mempelajari anatomi manusia?" tanyanya kemudian. Jevin hanya melongo mendengar pertanyaannya. "Jadi gini, jujur aku tadi masuk ke dalam ruangan di bawah tangga itu, tapi..."

"Hah?!" seru Jevin memenggal pernyataan Alana, ia terlihat sangat terkejut. 

Mendengar seruan itu, Alana serontak menutup mulut Jevin dengan tangannya. "Tenang, dude! Aku tak menyentuh apapun disitu kecuali buku ini...," jelasnya menenangkan Jevin sembari memperlihatkan buku temuannya tadi. "Aku melihat ada ruangan lagi, namun cukup gelap dan aku benci kegelapan makanya aku tak berniat memasukinya. Aku yakin ruangan itu tak lebih penting dari luarnya. Benarkah begitu?" tambahnya kemudian.

Mendengar penjelasan wanita itu Jevin perlahan tenang. "Syukurlah, kau benar… Tak ada apapun hanya dokumen-dokumen tentang toko buku milikku...," ucapnya kemudian.

Alana mengerutkan dahinya. "Kau belum menjawab pertanyaan utamaku, Jev... Apa kau sedang mempelajari anatomi manusia?" tanyanya kembali.

"Bisa dikatakan aku menyukainya..."

Sama. 

Kesamaan itu membuat perhatiannya beralih pada satu fokus. Buku itu memberinya topik pembicaraan yang cukup panjang. Keduanya saling mengerti dalam bidang itu. Kopi yang telah dibuatkan oleh Alana tadi menemani mereka berdua dalam pembicaraan yang panjang. Saling berdebat dan memberikan pendapat hingga memakan waktu. Namun, tiba-tiba Jevin teringat sesuatu setelah Alana beberapa kali menyeduh kopinya.

Jevin menahan tangan Alana, menghentikan seduhan kopinya. "Sebentar, ngomong-ngomong kau sudah sarapan?" tanyanya kemudian

"Belum...," jawab Alana singkat.

Tiba-tiba raut wajah Jevin terlihat kesal, ia mengerutkan dahinya. "Bodoh, kenapa dengan entengnya minum kopi?" tanyanya kembali sembari merebut cangkir kopi wanita itu.

"Enak...," ucap Alana masih singkat, terlihat sengaja membuat Jevin kesal.

Benar, Jevin semakin kesal namun ia terlihat menutupi kekesalan itu. "Kafein tak baik untuk kesehatan kalau dikonsumsi terus menerus, apalagi belum sarapan, ih gila...," jelasnya kemudian. "Katanya kau menyukai bidang biologi, mana buktinya?" tambahnya.

Semenjak hal itu terjadi, mereka seringkali berdebat tentang kafein. Jevin terus melarang Alana untuk kecanduan kopi, namun Alana tetaplah Alana. Masa bodoh. Hingga seringkali Alana merengek agar diizinkan untuk meminum kopi kembali mengingat Jevin adalah seseorang yang perhitungan. Begitulah keseharian mereka yang membuatnya semakin dekat dan mengerti satu sama lain tiap hari demi hari.


***

Bulan pun silih berganti, waktu itu hampir tiba. Dua bulan tinggal bersama Jevin menjadikan kisah tak terduga untuk mereka berdua. Alana hampir lupa bahwa tujuan utamanya untuk tinggal bersama pria itu adalah untuk pemulihannya. Dan benar, kakinya terasa semakin baik seiring bergantinya hari. Itu artinya sebentar lagi ia sudah harus kembali ke Indonesia dan siap untuk mengikuti kompetisinya. Alana sempat senang dengan hal itu, ia merindukan segalanya yang ada di Indonesia. Namun, di satu sisi hatinya masih terganjal sesuatu yang ia tak mau mengakui apakah itu. Lusa, mau tidak mau Alana sudah harus pulang ke Indonesia, ia sudah berjanji dengan orang tuanya.

Hari ini membuatnya gelisah. Tak seperti biasanya Jevin pergi meninggalkannya tanpa berpamitan. Ia semakin gelisah karena lusa adalah waktu perpisahannya dengan Jevin. Jujur, Alana sudah merasakan kenyamanan bersama pria itu, ia butuh waktu untuk bersamanya kembali sebelum keduanya saling mengucapkan salam perpisahan. Jevin benar-benar menghilang hari ini, Alana mencoba untuk menghubunginya pun selalu tak ada respon. Hingga akhirnya, ia tak sengaja mendengar berita di televisi yang membuat tubuhnya dingin dan kaku.


"SEORANG PRIA DIDUGA PSIKOPAT TELAH DIAMANKAN PIHAK KEPOLISIAN, PEMUDA INI MEMILIKI NAMA SAMARAN YAITU JEVIN WIJAYA......."


Alana belum percaya hal ini, ia yakin Jevin bukanlah pria seperti itu. Serontak ia bergegas menuju kamar Jevin. Terlihat sekali berantakan. Letak kamar Jevin dan Alana cukup jauh, maka dari itu ia tak tahu apa yang terjadi tadi malam. Perlahan, mau tak mau Alana harus mempercayai berita itu. Hingga ia memiliki firasat untuk memasuki ruangan privasi milik Jevin yang berada di bawah tangga. Lagi-lagi ia dikejutkan oleh sesuatu yang tertempel pada pintu ruangan itu.


---

Untuk,
ALANA.

Aku tahu pasti kau telah mengetahui semuanya...
Maafkan aku yang tak jujur selama ini,
Semuanya sudah terlanjur dan aku memiliki alasan atas semua perbuatanku,
Aku hanya ingin menjadi karakter baik dalam kisahmu,
Mungkin kau sudah memandangku sebelah mata sekarang,
Namun jika kau percaya padaku, kau akan paham siapa pelaku dari semua ini...

Kau ingat, saat aku menabrakmu dengan mobilku?
Sebelum kejadian itulah awal ceritanya...
Psikopat yang sebenarnya adalah kekasihku,
Buku anatomi manusia itu milik kekasihku,
Aku tak sengaja membunuhnya malam itu.

Malam itu kekacauan terjadi saat acara makan malam keluargaku dan keluarganya,
Pada akhir acara, aku pergi ke kamar mandi dan saat aku kembali...
Darah sudah bercucuran dimana-mana,
Gangguan jiwanya membuat jiwa psikopat nya hidup saat itu,
Ia membunuh semuanya...
Terakhir, aku melihat ia mengarahkan pistol ke kepalaku.
Gerakannya lambat, sehingga aku berhasil memutar arah pistol itu,
Namun...
Tak ada yang menyangka, peluru itu keluar,
Meledak tepat di kepalanya.
Dan tanpa sisa, kecuali aku...
Semenjak itulah aku menjadi buronan polisi,

Masih banyak hal yang ingin kau katakan padamu lewat surat ini,
Pertama...
Aku ingin jujur padamu tentang hal tadi.
Kedua...
Aku ingin jujur padamu bahwa aku mencintaimu, aku nyaman denganmu selama ini,
Itulah sebabnya aku tak ingin membawamu dalam permasalahan ini.
Dan yang terakhir...
Kau ingat nama penulis novel 'Godewynhault'?
Bukalah pintu ini dan kau akan mengetahui segalanya...


Dari,
Pria yang sempat kau sebut JEVIN WIJAYA

---


Tanpa pikir panjang, Alana segera membuka pintu ruangan itu. Ia terkejut dengan nyala lampu pada ruangan yang saat itu terlihat gelap. Ia melangkah untuk memasukinya. Benar... Semua isi dalam surat itu tak mengada-ada. Ia mendapati beberapa script novel Godewynhault dalam bentuk tulisan tangan Jevin tertata rapi di meja dalam ruangan itu. Selain itu, ia juga mendapati foto-foto kekasih Jevin yang sedang sibuk membaca buku anatomi manusia. 

Dan yang terakhir, ini membuatnya semakin dingin hingga tak mampu lagi berkata-kata. Sketsa wajah Alana terpampang jelas pada kanvas di sudut ruangan. Tertulis di bawahnya, "Impian sederhanaku yaitu suatu saat nanti, aku yakin tak ada lagi kata 'selamat tinggal', melainkan kata 'selamat malam' di bawah atap yang sama..." ―Dylan Aregall.


***


Bulan demi bulan silih berganti, sepertinya sudah tak berlanjut lagi kisah antara Jevin dan Alana. Jevin yakin Alana sudah meninggalkannya untuk kembali ke Indonesia. Hingga suatu ketika polisi memanggilnya, seseorang ingin bertemu dengannya. Siapa yang menyangka...

"Al......"


"Aku menyebutnya luka, ia akan sembuh bergantung dengan waktu tanpa melihat masa lalu. Ia tak akan kembali apabila kau menjaganya. Terima kasih, secara tak langsung kau memberitahuku arti kepercayaan. Aku percaya padamu dan sebaiknya kau percaya padaku bahwa aku juga mencintaimu. Aku tak takut untuk menunggumu karena aku yakin kisah tak terduga ini akan berakhir bahagia. Impian sederhanaku masih sama, aku yakin tak ada lagi kata 'selamat tinggal', melainkan kata 'selamat malam' di bawah atap yang sama…”
Read More